Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang telah diputuskan pada Rabu, 1 Maret 2023 dan dibacakan oleh majelis hakim pada Kamis, 2 Maret 2023 yang lalu telah menuai banyak kontroversi.
Menurut pengamat hukum, Pardomuan Gultom, S.Sos., SH., MH, putusan majelis hakim PN Jakpus dalam perkara sengketa proses pemilu antara Partai Prima melawan KPU dengan putusan nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tersebut tidak punya konstruksi hukum yang jelas.
“Sengketa antara Partai Prima dengan KPU itu kan sudah jelas duduk perkaranya soal sengketa proses pemilu.
Namun, anehnya majelis hakim justru menerima petitum nomor 5 yang disampaikan Partai Prima, yaitu mewajibkan tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama kurang lebih 2 (dua) tahun, 4 (empat) bulan, 7 (tujuh) hari sejak putusan tersebut dibacakan.
Harusnya hakim fokus kepada kerugian materiil dan immateriil yang timbul dari adanya perbuatan melawan hukum KPU jika Partai Prima dengan terang dan jelas dapat membuktikan hal tersebut di persidangan,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima awak media pada Selasa, 7 Maret 2023.
Pengamat Hukum yang akrab disapa Pardo Gultom ini lebih lanjut menerangkan bahwa seharusnya majelis dapat objektif dalam memilah mana yang merupakan kepentingan organisasi Partai Prima dan mana yang tidak termasuk dalam urusannya yang lebih luas.
“Peraturan KPU No. 3/2022 yang mengatur tahapan dan penyelenggaraan Pemilu 2024 itu kan jelas berlaku untuk semua parpol. Bukan hanya untuk Partai Prima saja.
Yang dipermasalahkan Partai Prima kan terkait dengan verifikasi mereka sendiri. Mungkin parpol lain juga mengalami kendala yang sama pada saat proses verifikasi, namun bisa menyelesaikan sesuai tahapan yang ditentukan oleh KPU.
Dan lagian juga KPU telah merespon keberatan Partai Prima ke Bawaslu dengan putusan penyelesaian No. 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 pada tanggal 4 November 2022 dengan Surat KPU RI No. 1063/PL.01.1-SD/05/2022 tanggal 8 November 2022 yang lalu tentang perbaikan dokumen persyaratan verifikasi parpol.
Nah, sesuai mekanisme sesuai Perbawaslu No. 21/2018, jika putusan Bawaslu tidak ditindaklanjuti oleh KPU, maka Bawaslu dapat melaporkan KPU ke DKPP sebagai bentuk pelanggaran etik. Begitu mekanismenya,” terang Pardo.
Khusus untuk putusan majelis hakim dalam perkara ini, dia menanggapi bahwa setiap putusan pengadilan itu pasti tidak akan pernah menyenangkan kedua belah pihak.
“Ada persoalan yuridis disini. Bahwa setiap pertimbangan hakim dalam memutus atau mengadili sebuah perkara harus memperhatikan kepentingan yuridis, tidak boleh bertentangan dengan hukum, yaitu konstitusi dan instrumen hukum lainnya, khususnya Pasal 22E UUD 1945.
Di pasal ini sudah jelas dan tegas diatur bahwa pemilu itu diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Lantas kenapa majelis tidak menjadikan konstitusi sebagai acuannya dalam memutus perkara ini?,” terangnya.
“Satu lagi, dalam setiap memutus perkara, hakim wajib memegang asas memuat dasar alasan yang jelas dan rinci. Akibat yang dapat timbul dari putusan hakim dalam kasus ini, maka putusan tersebut dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi,” kata lulusan magister hukum Universitas Nasional (Unas) Jakarta ini.